Green Sky
Senin, 12 Maret 2012
Kamis, 19 Januari 2012
Tarian Gelombang
Ia tumbuh dengan cepat, tanpa disadari telah menetap
dibalik dinding yang tak pernah sepi dan menancapkan akarnya sedemikian dalam.
“Sebenarnya kamu itu cinta atau sayang?”
Mungkin kedengarannya sangatlah lucu ataupun aneh,
tapi begitulah ia, telah mekar begitu saja, karena ia adalah bunga yang mekar
tak mengenal musim, ia telah datang padaku.
“Aku tak tau perasaan apa, tapi yang jelas ketika aku
berada didekatnya, seakan aku dibawa ke suatu tempat dimana tak ada rasa
kesakitan dan kegelisahan, seakan beban yang selama ini nyaris membunuhku diangkat
ke langit, aku merasa tenang meski aku terpenjara hingga jasadku membusuk”
Sahabatku menghela nafas panjangnya, “Lantas?”
“Menurutmu, sesuatu yang membuatmu tenang, tanpa
mengenal lagi rasa sakit, gelisah dan padanan kata yang menyertainya, apakah
itu yang di sebut cinta? ataukah itu yang di sebut sayang?”
Sahabatku mengerutkan dahi dan menyatukan alis matanya,
lalu mengambil nafas yang begitu dalam, “Entahlah, mungkin ketenangan itu yang
membuatmu tak bisa melupakannya”
*
Shadow
Aku melihat sesosok makhluk besar terbang di atas kepala-kepala orang
terkasihku. Makhluk itu berjubah gelap dan bersayap hitam, tak mengenal kasih,
tertekan dan penuh amarah. Ia membawa senjata semacam golok dan
mengibas-ibaskan ke arah kekasihku, orang tuaku dan kedua orang tua kekasihku.
Dan tanpa aku duga, senjata di tangan makhluk itu menebas orang-orang
terkasihku satu-persatu, seperti sekelompok penjagal yang menggorok sapi dan
kambing di tempat-tempat pemotongan hewan.
Aku melihat di atas altar kematian, kepala kekasihku menggelinding,
bercampur debu dan darahnya sendiri. Aku melihat di jalalan kasar, ibuku
berlari mencari perlindungan kepada semua orang yang ia temui, namun, telinga
orang-orang di sekelilingnya tertutup bubur beton. Wajah ibuku seperti
seseorang yang tak pernah sedetikpun mengulum senyum kebahagiaan, salah satu
makhluk besar itu menangkap dan menyiksanya, di leher ibuku, melilit semacam
pengait yang terbuat dari besi panas. Aku melihat kedua orang tua kekasihku
berlari ke arahku, wajah mereka pucat pasi, satu meter di depanku mengucur
deras darah yang segar dari leher kedua orang tua kekasihku, darah mereka
menyembur melumuri wajahku. Aku melihat, ayahku berusaha melawan, akan tetapi makhluk
itu terlalu kuat lagi bringas, ayahku di kuliti hidup-hidup, isi perutnya
dikeluarkan seperti babi-babi hutan oleh para pemburu, atau seperti umat muslim
yang di bunuh secara sadis oleh salibis di Ambon, ayahku berteriak sekuat
tenaga seperti jeritan para penghuni neraka menerima siksa, ia terjatuh dan
tersungkur. Dengan sisa-sisa tenaga yang ayah miliki, ayah menatapku, tarikan
nafasnya kacau, ia berusaha meraih tanganku.
Mulutku bergetar, lidahku seakan dicabut dari pangkalnya.
“Apa yang kau lakukan! Makhluk
laknat!” jerit ayahku.
Seketika otot sarafku menegang seperti kawat baja yang ditarik paksa
meluruskan badannya. Telapak tanganku mengepal, mengatupkan jari-jari bekunya
yang semakin kaku. Gigi-gigiku saling beradu, menggigit kencang gigi yang lain.
Darah dalam tubuhku mendidih, ingin rasanya aku mencincang orang-orang yang
membunuh orang terkasihku di depan mataku sendiri. Ingin rasanya aku menguliti
kepala mereka hingga teriakan mereka hilang bersama hilangnya nyawa.
Teriakanku tak di hiraukan.
Mendadak dari arah belakang, aku di
cekal oleh dua tangan besar. Aku tak berdaya, aku lagi-lagi berteriak, ingin
melepaskan genggaman-genggaman itu dan memotong jari-jarinya agar tak
menyakitiku.
“Lepaskan aku!”, aku berteriak lebih
keras, berusaha melepaskan tangan-tangan itu. Untuk kesekian kalinya usahaku
sia-sia, mereka menyuntikku.
“Tenang cucuku, tenang”, kata
seorang wanita di samping tangan-tangan kasar itu. Aku tak tau persis wanita
tua itu, kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang, pandanganku samar,
suara-suara menjadi gema-gema yang membuatku tak tau aku berada di mana.
*
Mom In My Midnight (Full)
Ketika malam memang tak seperti biasanya, malam pertengahan
bulan Sya`ban, angin berhembus perlahan membelai wajahku dengan
semilirnya. Di atas hamparan angkasa yang luas, bulan berada di titik puncak
mekarnya, warna merah nan indah merekah bagaikan bunga mawar di tengah taman
yang hijau. Aku berdiri mematung memandanginya, diantara awan yang berarak
pelan, bulan tersipu malu padaku. Aku tersenyum padanya, ia membalas senyumku
dengan tatapan yang tak bisa di lukiskan kecuali oleh seorang penyair Libanon
kepada kekasihnya, Selma Karamy.
Saat itu, aku berdiri di atas gedung yang tengah di perbaiki
tembok dan atapnya, gedung itu menghadap ke timur, sangat indah tatkala fajar
kidzib datang setiap paginya. Burung alap-alap akan berceloteh riang dari atas
gedung, saling mencuit merayu kekasih-kekasihnya untuk segera bangun dari
altarnya. Aku masih terdiam memandangi apa yang bisa aku pandang dari keindahan
mata untuk memandang sesuatu yang memang indah untuk dipandang.
"Dhe
Tika, antum belum tidur?" sapa Hasna.
Seorang wanita cantik dengan jilbab biru lautnya yang
melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya bersinar, memantulkan cahaya bulan
purnama yang sedikit samar. Aku memandangi wanita itu lekat-lekat hingga
wajahnya bisa aku lihat dengan jelas.
"Belum mbak, Tika lagi pingin menyepi aja", kataku lirih.
Aku memutarkan tubuh, memandangi bulan kembali.
Wanita itu, yang aku panggil mbak Hasna
mendekatiku, lalu berdiri tepat di samping kananku.
"Subhanallah,
bulan yang bagus ya dhe", kata wanita itu.
Aku menoleh padanya,bibir dan wajahnya yang basah terkena air
wudlu berkerlingan bagaikan mutiara di bawah pancaran sinar. Sungguh aku
melihat dirinya teramat cantik, melebihi cantiknya bidadari surga yang lemah
lembut dan elok rupanya.
Wanita itu menatapku dan berkata lagi,
"Jika bulan
begitu indah dengan wajah samarnya, bagaimana tidak bagi kita yang seorang
muslimah"
*
"Nduk,
mbok kamu jangan lama-lama di Solo. Ibu ingin cepat-cepat melihat kamu ngajar
di sekolah Ibu", kata Ibu suatu malam.
Di serambi rumah, aku duduk bersimpuh pada Ibu yang tengah
membelaiku dengan manja.Tangan-tangannya yang kasar tetap halus dalam belaian.
Aku mencium tangan itu tatkala jari jemarinya berjalan di antara hidung dan
bibirku. Bau yang harum bagi seorang wanita sholehah, fikirku.
"Injih Bue', Insya Allah,
Tika hanya bisa berusaha, Alloh yang mengaturnya Bue`", kataku pelan.
Aku menatapnya lagi, teringat
akan perjuangan hidupnya dalam menghidupi aku dan adik-adikku. Wajahnya yang
mulai layu menggambarkan perjuangan hidup yang telah di gelutinya, sebelum dan
setelah Bapak meninggal. Seperti dua wajah yang sangat berseberangan, antara
pagi dan sore hari.
"Iya,
Bue` tau, Bue` hanya berharap, sebelum hidup Bue` paripurna di dunia, hanya
satu keinginan Bue`, melihat anak Bue` jadi seorang ustadzah", kata Bue`
lagi.
Aku terus
menatapnya, dan mengusap air hangat yang mengalir di atas kerutan pipinya.
Mungkin kepayahan telah melemahkan semua ketegaran yang selama ini ia lakukan
sendiri.
"Bue`
ini, jangan ngomong kayak gitu. Insya Alloh Bue` akan melihat dan Tika berharap
Bue` selalu nemenin Tika nanti", kataku.
Aku
memeluknya dengan erat, begitu juga dirinya.
*
Saat badan-badan bus berhamburan memenuhi perempatan jalan raya,
lampu merah menyala terang. Deruman mesin-mesin besar itu mengeluarkan
asap-asap tebal berwarna hitam. Aku turun, namun kepulan asap memenuhi wajahku
hingga hidungku terasa di penuhi air comberan bekas tabung-tabung besar
penyedot tinja.
Aku berjalan sedikit sempoyongan menuju rumahku, bau tak sedap
dari penumpang, asap rokok, dan juga bau pantat-pantat ayam yang mengeluarkan
kotoran di sembarang tempat, dan yang paling menambah penderitaanku, bau-bau
makanan setengah giling yang keluar dari perut-perut penumpang, semuanya
bercampur aduk dengan enzim di dalam lambung, itu semakin membuatku muak.
*
Selasa, 17 Januari 2012
Potongan CERPEN (Mom In My Midnight)
Ketika malam memang tak seperti
biasanya, malam pertengahan bulan sya`ban, angin berhembus perlahan membelai
wajahku dengan semilirnya. Di atas hamparan angkasa yang luas, bulan berada di
titik puncak mekarnya, warna merah nan indah merekah bagaikan bunga mawar di
tengah taman yang hijau. Aku berdiri mematung memandanginya, di antara awan
yang berarak pelan, bulan tersipu malu padaku. Aku tersenyum padanya, ia
membalas senyumku dengan tatapan yang tak terlukiskan kecuali oleh seorang
penyair Lebanon kepada Selma karamy.
Saat itu aku berdiri di atas
gedung yang tengah diperbaiki tembok dan atapnya, gedung itu menghadap ke
timur, sangat indah tatkala fajar kidzib datang setiap paginya. Burung
alap-alap akan berceloteh riang dari atas gedung, saling mencuit merayu
kekasih-kekasihnya untuk segera bangun dari altarnya. Aku masih terdiam
memandangi apa yang bisa aku pandang.
“Dhe tika, antum belum tidur?”
Seorang wanita cantik dengan
jilbab biru lautnya melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya bersinar
memantulkan cahaya purnama yang sedikit samar. Aku memandang wanita itu
lekat-lekat hingga wajahnya bisa aku lihat dengan jelas.
“Belum mbak, Tika lagi pingin
menyendiri”
Aku memutarkan tubuh, memandangi
bulan kembali. Wanita itu, yang aku panggil
mbak Hasna mendekatiku, lalu ia berdiri di samping kananku.
"Subhanallah bulan yang bagus ya
dhe"
Aku menoleh padanya, bibir dan
wajah yang terkena basuhan air wudhu berkerlingan bak mutiara. Sunguh aku
melihat dirinya teamat cantik melebihi cantiknya bidadari surge yang lemah
lembut dan elok rupanya.
Wanita itu menatapku dan berkata
lagi, "Jika bulan begitu indah dengan
wajah sinarnya bagaimana tidak bagi kita, yang seorang muslimah".
Nominator Lomba Cerpen SOLOPOS 2011
Minggu, 15 Januari 2012
LOVALITA
Dia membawaku ke sebuah arti di mana kata lari dapat merubah hidupku
seperti angin membalikan daun kering di tanah lapang. Sejenak aku tak
merasakan apapun kecuali rasa empedu yang tak selamanya pahit. Dia
mengajarkanku sebuah kata di mana kesejukan membelai dahaga di bawah
teriknya sang mentari. Dia..Dia..Dia...
Pemilik Surga Hidupku
Lovalita untuk Ibu
Langganan:
Postingan (Atom)