Kamis, 19 Januari 2012

Tarian Gelombang

Ia tumbuh dengan cepat, tanpa disadari telah menetap dibalik dinding yang tak pernah sepi dan menancapkan akarnya sedemikian dalam.
“Sebenarnya kamu itu cinta atau sayang?”
Mungkin kedengarannya sangatlah lucu ataupun aneh, tapi begitulah ia, telah mekar begitu saja, karena ia adalah bunga yang mekar tak mengenal musim, ia telah datang padaku.
“Aku tak tau perasaan apa, tapi yang jelas ketika aku berada didekatnya, seakan aku dibawa ke suatu tempat dimana tak ada rasa kesakitan dan kegelisahan, seakan beban yang selama ini nyaris membunuhku diangkat ke langit, aku merasa tenang meski aku terpenjara hingga jasadku membusuk”
Sahabatku menghela nafas panjangnya, “Lantas?”
“Menurutmu, sesuatu yang membuatmu tenang, tanpa mengenal lagi rasa sakit, gelisah dan padanan kata yang menyertainya, apakah itu yang di sebut cinta? ataukah itu yang di sebut sayang?”
Sahabatku mengerutkan dahi dan menyatukan alis matanya, lalu mengambil nafas yang begitu dalam, “Entahlah, mungkin ketenangan itu yang membuatmu tak bisa melupakannya”
*
               

Shadow


Aku melihat sesosok makhluk besar terbang di atas kepala-kepala orang terkasihku. Makhluk itu berjubah gelap dan bersayap hitam, tak mengenal kasih, tertekan dan penuh amarah. Ia membawa senjata semacam golok dan mengibas-ibaskan ke arah kekasihku, orang tuaku dan kedua orang tua kekasihku. Dan tanpa aku duga, senjata di tangan makhluk itu menebas orang-orang terkasihku satu-persatu, seperti sekelompok penjagal yang menggorok sapi dan kambing di tempat-tempat pemotongan hewan.
Aku melihat di atas altar kematian, kepala kekasihku menggelinding, bercampur debu dan darahnya sendiri. Aku melihat di jalalan kasar, ibuku berlari mencari perlindungan kepada semua orang yang ia temui, namun, telinga orang-orang di sekelilingnya tertutup bubur beton. Wajah ibuku seperti seseorang yang tak pernah sedetikpun mengulum senyum kebahagiaan, salah satu makhluk besar itu menangkap dan menyiksanya, di leher ibuku, melilit semacam pengait yang terbuat dari besi panas. Aku melihat kedua orang tua kekasihku berlari ke arahku, wajah mereka pucat pasi, satu meter di depanku mengucur deras darah yang segar dari leher kedua orang tua kekasihku, darah mereka menyembur melumuri wajahku. Aku melihat, ayahku berusaha melawan, akan tetapi makhluk itu terlalu kuat lagi bringas, ayahku di kuliti hidup-hidup, isi perutnya dikeluarkan seperti babi-babi hutan oleh para pemburu, atau seperti umat muslim yang di bunuh secara sadis oleh salibis di Ambon, ayahku berteriak sekuat tenaga seperti jeritan para penghuni neraka menerima siksa, ia terjatuh dan tersungkur. Dengan sisa-sisa tenaga yang ayah miliki, ayah menatapku, tarikan nafasnya kacau, ia berusaha meraih tanganku.
Mulutku bergetar, lidahku seakan dicabut dari pangkalnya.
            “Apa yang kau lakukan! Makhluk laknat!” jerit ayahku.
Seketika otot sarafku menegang seperti kawat baja yang ditarik paksa meluruskan badannya. Telapak tanganku mengepal, mengatupkan jari-jari bekunya yang semakin kaku. Gigi-gigiku saling beradu, menggigit kencang gigi yang lain. Darah dalam tubuhku mendidih, ingin rasanya aku mencincang orang-orang yang membunuh orang terkasihku di depan mataku sendiri. Ingin rasanya aku menguliti kepala mereka hingga teriakan mereka hilang bersama hilangnya nyawa.
Teriakanku tak di hiraukan.
            Mendadak dari arah belakang, aku di cekal oleh dua tangan besar. Aku tak berdaya, aku lagi-lagi berteriak, ingin melepaskan genggaman-genggaman itu dan memotong jari-jarinya agar tak menyakitiku.
            “Lepaskan aku!”, aku berteriak lebih keras, berusaha melepaskan tangan-tangan itu. Untuk kesekian kalinya usahaku sia-sia, mereka menyuntikku.
            “Tenang cucuku, tenang”, kata seorang wanita di samping tangan-tangan kasar itu. Aku tak tau persis wanita tua itu, kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang, pandanganku samar, suara-suara menjadi gema-gema yang membuatku tak tau aku berada di mana.
*

Mom In My Midnight (Full)


Ketika malam memang tak seperti biasanya, malam pertengahan bulan Sya`ban, angin berhembus perlahan membelai wajahku dengan semilirnya. Di atas hamparan angkasa yang luas, bulan berada di titik puncak mekarnya, warna merah nan indah merekah bagaikan bunga mawar di tengah taman yang hijau. Aku berdiri mematung memandanginya, diantara awan yang berarak pelan, bulan tersipu malu padaku. Aku tersenyum padanya, ia membalas senyumku dengan tatapan yang tak bisa di lukiskan kecuali oleh seorang penyair Libanon kepada kekasihnya, Selma Karamy.
Saat itu, aku berdiri di atas gedung yang tengah di perbaiki tembok dan atapnya, gedung itu menghadap ke timur, sangat indah tatkala fajar kidzib datang setiap paginya. Burung alap-alap akan berceloteh riang dari atas gedung, saling mencuit merayu kekasih-kekasihnya untuk segera bangun dari altarnya. Aku masih terdiam memandangi apa yang bisa aku pandang dari keindahan mata untuk memandang sesuatu yang memang indah untuk dipandang.
                "Dhe Tika, antum belum tidur?" sapa Hasna.
Seorang wanita cantik dengan jilbab biru lautnya yang melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya bersinar, memantulkan cahaya bulan purnama yang sedikit samar. Aku memandangi wanita itu lekat-lekat hingga wajahnya bisa aku lihat dengan jelas.
                "Belum mbak, Tika lagi pingin menyepi aja", kataku lirih.
Aku memutarkan tubuh, memandangi bulan kembali.
Wanita itu, yang aku panggil mbak Hasna mendekatiku, lalu berdiri tepat di samping kananku.
                "Subhanallah, bulan yang bagus ya dhe", kata wanita itu.
Aku menoleh padanya,bibir dan wajahnya yang basah terkena air wudlu berkerlingan bagaikan mutiara di bawah pancaran sinar. Sungguh aku melihat dirinya teramat cantik, melebihi cantiknya bidadari surga yang lemah lembut dan elok rupanya.
Wanita itu menatapku dan berkata lagi,
"Jika bulan begitu indah dengan wajah samarnya, bagaimana tidak bagi kita yang seorang muslimah"
*
                "Nduk, mbok kamu jangan lama-lama di Solo. Ibu ingin cepat-cepat melihat kamu ngajar di sekolah Ibu", kata Ibu suatu malam.
Di serambi rumah, aku duduk bersimpuh pada Ibu yang tengah membelaiku dengan manja.Tangan-tangannya yang kasar tetap halus dalam belaian. Aku mencium tangan itu tatkala jari jemarinya berjalan di antara hidung dan bibirku. Bau yang harum bagi seorang wanita sholehah, fikirku.
                "Injih Bue', Insya Allah, Tika hanya bisa berusaha, Alloh yang mengaturnya Bue`", kataku pelan.
                Aku menatapnya lagi, teringat akan perjuangan hidupnya dalam menghidupi aku dan adik-adikku. Wajahnya yang mulai layu menggambarkan perjuangan hidup yang telah di gelutinya, sebelum dan setelah Bapak meninggal. Seperti dua wajah yang sangat berseberangan, antara pagi dan sore hari.
                "Iya, Bue` tau, Bue` hanya berharap, sebelum hidup Bue` paripurna di dunia, hanya satu keinginan Bue`, melihat anak Bue` jadi seorang ustadzah", kata Bue` lagi.
                Aku terus menatapnya, dan mengusap air hangat yang mengalir di atas kerutan pipinya. Mungkin kepayahan telah melemahkan semua ketegaran yang selama ini ia lakukan sendiri.
                "Bue` ini, jangan ngomong kayak gitu. Insya Alloh Bue` akan melihat dan Tika berharap Bue` selalu nemenin Tika nanti", kataku.
                Aku memeluknya dengan erat, begitu  juga dirinya.
*
Saat badan-badan bus berhamburan memenuhi perempatan jalan raya, lampu merah menyala terang. Deruman mesin-mesin besar itu mengeluarkan asap-asap tebal berwarna hitam. Aku turun, namun kepulan asap memenuhi wajahku hingga hidungku terasa di penuhi air comberan bekas tabung-tabung besar penyedot tinja.
Aku berjalan sedikit sempoyongan menuju rumahku, bau tak sedap dari penumpang, asap rokok, dan juga bau pantat-pantat ayam yang mengeluarkan kotoran di sembarang tempat, dan yang paling menambah penderitaanku, bau-bau makanan setengah giling yang keluar dari perut-perut penumpang, semuanya bercampur aduk dengan enzim di dalam lambung, itu semakin membuatku muak.
*

Selasa, 17 Januari 2012

Potongan CERPEN (Mom In My Midnight)

Ketika malam memang tak seperti biasanya, malam pertengahan bulan sya`ban, angin berhembus perlahan membelai wajahku dengan semilirnya. Di atas hamparan angkasa yang luas, bulan berada di titik puncak mekarnya, warna merah nan indah merekah bagaikan bunga mawar di tengah taman yang hijau. Aku berdiri mematung memandanginya, di antara awan yang berarak pelan, bulan tersipu malu padaku. Aku tersenyum padanya, ia membalas senyumku dengan tatapan yang tak terlukiskan kecuali oleh seorang penyair Lebanon kepada Selma karamy.

Saat itu aku berdiri di atas gedung yang tengah diperbaiki tembok dan atapnya, gedung itu menghadap ke timur, sangat indah tatkala fajar kidzib datang setiap paginya. Burung alap-alap akan berceloteh riang dari atas gedung, saling mencuit merayu kekasih-kekasihnya untuk segera bangun dari altarnya. Aku masih terdiam memandangi apa yang bisa aku pandang.

“Dhe tika, antum belum tidur?”

Seorang wanita cantik dengan jilbab biru lautnya melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya bersinar memantulkan cahaya purnama yang sedikit samar. Aku memandang wanita itu lekat-lekat hingga wajahnya bisa aku lihat dengan jelas.

“Belum mbak, Tika lagi pingin menyendiri”

Aku memutarkan tubuh, memandangi bulan kembali. Wanita itu, yang aku panggil mbak Hasna mendekatiku, lalu ia berdiri di samping kananku.

"Subhanallah bulan yang bagus ya dhe"

Aku menoleh padanya, bibir dan wajah yang terkena basuhan air wudhu berkerlingan bak mutiara. Sunguh aku melihat dirinya teamat cantik melebihi cantiknya bidadari surge yang lemah lembut dan elok rupanya.

Wanita itu menatapku dan berkata lagi, "Jika bulan begitu indah dengan wajah sinarnya bagaimana tidak bagi kita, yang seorang muslimah".

Nominator Lomba Cerpen SOLOPOS 2011

Minggu, 15 Januari 2012

LOVALITA

Dia membawaku ke sebuah arti di mana kata lari dapat merubah hidupku seperti angin membalikan daun kering di tanah lapang. Sejenak aku tak merasakan apapun kecuali rasa empedu yang tak selamanya pahit. Dia mengajarkanku sebuah kata di mana kesejukan membelai dahaga di bawah teriknya sang mentari. Dia..Dia..Dia...

Pemilik Surga Hidupku
Lovalita untuk Ibu